1. Pendahuluan
Dalam
liberalisasi sistem keuangan, perbankan bebas dalam menentukan suku bunga
simpanan maupun pinjaman sesuai dengan mekanisme pasar. Dengan liberalisasi
keuangan tersebut diharapkan dana masyarakat mampu diserap oleh lembaga
keuangan guna membiayai investasi yang produktif sehingga dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dengan kata lain, liberalisasi keuangan
diharapkan mampu menjamin fungsi intermediasi lembaga keuangan berjalan dengan
baik. Namun, jika liberalisasi keuangan tersebut tidak mampu menjamin lembaga
keuangan menjalankan fungsi intermediasinya maka hal itu hanya akan menaikkan
tingkat tabungan masyarakat yang berarti menurunkan tingkat konsumsi masyarakat
dan selanjutnya akan menurunkan tingkat pendapatan nasional.
Dalam
perekonomian dunia yang semakin terintegrasi terlihat bahwa Negara yang
berhasil dalam perekonomiannya adalah negara yang berhasil mendorong dan
mempertahankan eksistensi perdagangannya dengan cepat. Dengan selesainya
Putaran Uruguay tahun 1986 serta percepatan AFTA dari tahun 2008 ke 2003, maka
Indonesia sangat berkepentingan untuk memperbaiki diri agar dapat menghadapi
tekanan eksternal yang sangat kuat. Sejak tahun 1983, Indonesia telah membuka
perekonomian melalui serangkaian kebijakan deregulasi untuk meliberalisasi
perdagangan internasional yang secara drastis mempermudah dan menurunkan
tingkat bea masuk bagi kebanyakan komoditas, rasionalisasi struktur tarif, dan
mengurangi secara mendasar jumlah komoditas yang dilindungi melalui hambatan
nontariff (Goeltom, 1996:8-9). Namun demikian, liberalisasi perdagangan
internasional dapat menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi jika yang terjadi
adalah semakin besarnya impor yang tidak dibarengi dengan kenaikan ekspor
dengan tingkat pertumbuhan yang seimbang. Pendapatan nasional yang berkurang
akibat kenaikan impor yang lebih besar dari kenaikan pendapatan nasional akibat
kenaikan ekspor akan menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi
2. Pembahasan
A. Liberalisme Ekonomi
Liberalisasi ekonomi merupakan kritik terhadap kontrol
politik dan pengaturan permasalahan ekonomi yang yang menyeluruh yang
mendominasi pembentukan negara Eropa di abad keenambelas dan ketujuhbelas, yakni
merkantilisme.[1]
Jadi liberalisasi ekonomi merupakan sebuah paham atau sistem
ekonomi yang menempatkan peran swasta sebagai tokoh utama dari pelaku ekonomi.
Dalam ekonomi liberal, peran pemerintah tidak diperkenankan turut campur.
Semuanya diatur oleh swasta ataupun individu pemilik modal. Dengan demikian,
dalam sistem ini masyarakat diharapkan mampu berkompetisi untuk menjadi yang
lebih baik. Kaum ekonomi liberal berpendapat bahwa perekonomian pasar
merupakan suatu wilayah otonom dari masyarakat yang berjalan menurut hukum
ekonominya sendiri. Pertukaran ekonomi bersifat positive sum game, dan pasar
cenderung akan memaksimasi keuntungan bagi semua individu, rumah tangga dan
perusahaan yang berpartisipasi dalam pertukaran pasar. Perekonomian merupakan
wilayah kerjasama bagi keuntungan timbal balik antar negara dan juga antar
individu. Dengan demikian, perekonomian internasional seharusnya didasarkan
pada prdagangan bebas.
B. Pengertian Liberalisme Keuangan
Liberalisasi keuangan adalah bagian intergral dari
liberalisasi ekonomi. Secara khusus tujuan liberalisasi keuangan adalah untuk
meningkatkan peranan pasar dan untuk mengurangi peranan negara dalam
penyelenggaraan jasa-jasa keuangan,
Namun demikian, sebagai unsur dari liberalisasi ekonomi yang
bersifat menyeluruh, terutama sebagaimana terungkap melalui ke empat agenda Konsensus
Washington, tujuan akhir liberalisasi keuangan pada dasarnya adalah untuk
mempercepat integrasi perekonomian negara-negara sedang berkembang ke dalam
sistem perekonomian pasar global berdasarkan kapitalisme.
Secara terinci, liberalisasi keuangan mencakup enam aspek
sebagai berikut: (a) deregulasi tingkat suku bunga; (b) peniadaan pengendalian
kredit; (c) privatisasi bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan milik negara;
(d) peniadaan hambatan bagi bank-bank atau lembaga-lembaga keuangan swasta,
termasuk asing, untuk memasuki pasar keuangan domestik; (e) pengenalan
alat-alat pengendalian moneter yang berbasis pasar; dan (f) liberalisasi neraca
modal (Singh, 2000).
Berdasarkan ke enam aspek tersebur, dapat disaksikan betapa
luasnya cakupan yang terkandung dalam liberalisasi keuangan. Jika dilihat
berdasarkan ke empat agenda Konsensus Washington, liberalisasi keuangan tidak
hanya mencakup kebijakan anggaran ketat dan penghapusan subsidi, liberalisasi
keuangan dan perdagangan, ia mencakup pula pelaksanaan provatisasi badan-badan
usaha milik negara (BUMN).[2]
Peniadaan pengendalian kredit, misalnya, berkaitan secara
langsung dengan peniadaan kredit bersubsidi bagi kredit sektor pertanian dan
atau usaha kecil menengah (UKM). Privatisasi bank-bank atau lembaga-lembaga
keuangan milik negara jelas berkaitan dengan pelaksanaan privatisasi BUMN.
Sedangkan peniadaan hambatan bagi bank asing untuk memasuki pasar keuangan
domistik, secara tidak langsung berkaitan dengan liberalisasi perdagangan.
Secara
ringkas dengan adanya liberalisasi keuangan dan adanya kebebasan pasar dalam
alokasi kredit, maka permasalahan pembatasan modal sebagaimana diungkapkan
oleh Stiglitz dan Weiss (1981) dapat terabaikan. Dengan penyesuaian
tingkat bunga riil terhadap keseimbangan pasar dimana jumlah tabungan
dan investasi diasumsikan berimbang, investasi dengan imbal hasil rendah
tereliminasi, maka efisiensi investasi secara keseluruhan akan berkembang. Dengan
peningkatan bunga, maka tabungan dan suplai kredit juga akan meningkat,
dan mendorong volume investasi. Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi dapat
distimulasi bukan hanya melalui investasi akan tetapi juga melalui peningkatan
produktivitas kapital. Dampak dari persyaratan cadangan yang lebih rendah akan
mendorong suplai bank yang tinggi, sementara penghapusan pembatasan alokasi
kredit juga mengarahkan terjadinya alokasi kredit yang lebih efisien sehingga
merangsang produktivitas kapital rata-rata.
Dengan tujuan dan cakupan yang sangat luas
tersebut, munculnya bahaya yang sangat besar di balik pelaksanaan liberalisasi
keuangan sulit dihindarkan. Walaupun diskusi mengenai bahaya liberalisasi
keuangan ini belakangan cenderung dialihkan dengan memunculkan masalah
pentahapan dalam pelaksanaan liberalisasi, terkandungnya bahaya sistemik di
balik pelaksanaan liberalisasi keuangan bagi negara-negara sedang berkembang
tidak dapat diabaikan. [3]
Liberalisasi
keuangan merupakan otoritas bank sentral suatu negara berupa kebijakan-kebijakan
terhadap moneter yaitu pasar uang maupun pasar modal. Liberalisasi
keuangan, dapat berupa pelonggaran aturan yang berkaitan dengan kebijakan
moneter di suatu negara, misalnya ketentuan mengenai kontrol atas aliran
modal masuk (capital inflow) maupun aliran modal keluar (capital
outflow), juga termasuk
ketentuan investasi di pasar modal seperti salah satunya kemungkinan
investor asing untuk dapat melakukan pembelian sekuritas emiten perusahaan-perusahaan
yang tercatat pada bursa domestik.[4]
Secara singkat, bahaya liberalisasi keuangan bagi
negara-negara sedang berkembang dapat ditelusuri pada tiga hal sebagai berikut.
Pertama, liberalisasi keuangan cenderung memicu meningkatnya instabilitas keuangan
di negara-negara sedang berkembang. Bahkan, sebagaimana dialami oleh
negara-negara Asia Selatan dan Tenggara pada saat terjadinya krisis moneter
1997/1998, liberalisasi keuangan dapat bermuara pada terjadinya krisis ekonomi,
sosial, dan politik secara bersamaan.
Hal itu erat kaitannya dengan berlangsungnya delinking dan
semakin dominannya kegiatan ekonomi di sektor keuangan daripada di sektor riil.
Delinking dan dominasi kegiatan ekonomi di sektor keuangan jelas sangat erat
kaitannya dengan maraknya transaksi-transaksi keuangan yang bersifat spekulatif
di sektor ini. Dengan demikian, bagi negara-negara sedang berkembang,
liberalisasi keuangan patut diwaspadai sebagai prakondisi untuk menjerumuskan
perekonomian negara-negara ini ke dalam perangkap transaksi-transaksi keuangan
spekulatif yang memicu instabilitas tersebut.
Kedua, liberalisasi keuangan cenderung menyebabkan semakin
menganganya kesenjangan ekonomi antar sektor, antar wilayah, dan antar golongan
pendapatan di negara-negara sedang berkembang. Ini erat kaitannya dengan logika
dasar yang menggerakkan sektor keuangan. Sebagaimana diketahui, kegiatan di
sektor keuangan digerkakan oleh prinsip ‘money follow the business’.
Artinya, liberalisasi keuangan cenderung mendorong meningkatnya peredaran uang
di tempat-tempat di mana uang dapat dengan mudah dilipatgandakan.
Lebih-lebih dengan terjadinya delinking antara kegiatan di
sektor keuangan dengan di sektor riil. Liberalisasi keuangan tidak hanya
cenderung menyebabkan terjadinya bias ke sektor industri, ke kota-kota besar,
dan ke lapisan atas masyarakat, ia bahkan dapat sama sekali mengabaikan
perkembangan ekonomi yang terjadi di sektor riil. Akibatnya, upaya negara dalam
memelihara stabilitas keuangan, patut diwaspadai sebagai suatu bentuk penyelewengan
peran negara dari pelayan masyarakat menjadi pelayan para pelaku pasar uang.
Ketiga, sejalan dengan bahaya yang kedua itu, liberalisasi
keuangan cenderung menyebabkan semakin merosotnya kemampuan negara dalam
memelihara integritas dan kedaulatan bangsa. Di satu sisi, instabilitas
keuangan dan kesenjangan ekonomi adalah ancaman serius bagi suatu bangsa untuk
mempertahankan integritas dan kedaulatannya. Di sisi lain, keterbatasan dan
ketidakberdayaan negara dalam mengendalikan keadaan, tidak hanya cenderung
mendorong munculnya kebutuhan permanen untuk melayani para pelaku pasar uang.
Sebaliknya, ia cenderung menjadi pemicu semakin merosotnya kepercayaan
masyarakat terhadap negara.[5]
C.
Tinjauan Islam terhadap liberalisasi
keuangan
Seperti yang telah kita ketahui
bahwa tujuan dari penyelenggaraan Negara adalah untuk mewujudkan suatu
kestabilan dalam masyarakat, termasuk dalam bidang ekonomi. Dalam permasalahan
liberalisasi keuangan, yang notabene di dalamnya terdapat banyak madhorot
dibanding manfaatnya sebagaimana termaktub diatas, islam tentunya mempunyai
pandangan tersendiri.
Liberalisasi keuangan cenderung
merugikan bagi masyarakat yang ada di dalamnya. Dalam penanganan perekonomian
suatu Negara, termasuk di dalamnya yaitu mensejahterakan seluruh warganya,
tentunya Negara maupun orang yang terlibat di dalamnya tidak semena-mena
menentukan kebijakan. Sehingga permasalahan yang timbul disini yaitu terjadinya
kesenjangan di dalam lapisan masyarakat. Liberalisasi keuangan yang tersebut di
atas bertentangan terhadap awal tujuan pembentukan penyelenggaraan suatu
Negara, yaitu untuk mencapai kesejahteraan kehidupan masyarakat. Maka disini
jelas bahwa liberalisasi keuangan termasuk hal tidak diperbolehkan dalam
operasional perekonomian suatu Negara. Hal ini didasarkan pada efek yang timbul
seperti yang disebutkan diatas yaitu, liberalisasi keuangan cenderung memicu
meningkatnya instabilitas keuangan di suatu negara, penyelewengan peran negara dari
pelayan masyarakat menjadi pelayan para pelaku pasar uang dan yang terakhir
liberalisasi keuangan cenderung
menyebabkan semakin merosotnya kemampuan negara dalam memelihara integritas dan
kedaulatan bangsa. Disini terkait dengan kaidah “dar’ul mafasid
muqaddamun ‘ala jalbil mashalih” yang intinya mencegah suatu kerusakan didahulukan
atas pengambilan kemashlahatan. Maka disini terlihat sekali ketika liberalisasi
dipraktekkan dalam suatu Negara, bahaya yang timbul karenanya akan lebih banyak
tercipta dari pada kemanfaatannya.
3. Kesimpulan
Liberalisasi
yang merupakan otoritas suatu Negara dalam rangka untuk untuk mensejahtrekan
ekonomi Negara, secara
khusus tujuannya adalah
untuk meningkatkan peranan pasar dan untuk mengurangi peranan negara dalam
penyelenggaraan jasa-jasa keuangan. Namun dalam perimbangan
selanjutnya bahwa praktek liberalisasi mempunyai efek yang sangat berbahaya,
diantaranya liberalisasi keuangan cenderung memicu meningkatnya instabilitas keuangan
di suatu negara, penyelewengan peran negara dari
pelayan masyarakat menjadi pelayan para pelaku pasar uang dan yang
terakhir liberalisasi
keuangan cenderung menyebabkan semakin merosotnya kemampuan negara dalam
memelihara integritas dan kedaulatan bangsa. Maka dengan ini jelas bahwa bahaya
yang ditimbulkan akibat liberalisasi keuangan banyak dibanding dari manfaatnya,
maka tidak diperbolehkan dalam Islam.
Daftar Pustaka
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55393/BAB%20I%20PENDAHULUAN.pdf?sequence=3
http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sembul40.htm
Tinjauan Pustaka Liberalisme Keuangan
oleh …… Institut Pertanian Bogor tahun..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar